Nurdin, Laki-laki Tanpa Asa
Terang bulan. Sekampung sudah tenggelam dalam lautan mimpinya masing-masing, terdengar juga sayup-sayup orang yang mengaji. Seperti biasa Nurdin berjalan dengan sempoyongan, melewati jalan kampung yang amat sepi. Sudah biasa ia pulang menjelang dini hari, pulang dari tempat tongkrongannya, sehabis minum dan bermain kartu.
Dengan keadaannya yang setengah mabuk, di sepanjang jalan Nurdin meracau tidak jelas. "Bu, aku pulang," katanya.
***
Byur!
Nurdin tersentak, ia terbangun dari tidurnya. Seseorang menyiramnya dengan air.
"Ya, Allah, Din. Kukira kau itu gembel!" gerutu Mak Tin, ibu-ibu pemilik warung yang tempatnya ditiduri oleh Nurdin.
Nurdin hanya mendengkus. Ia mengusap wajahnya yang basah terkena air.
"Kau tuh, masih bujang, Din. Cari kerjalah sana, jangan asik main kartu
saja!" omel Mak Tin pada Nurdin.
Nurdin memutar bola matanya malas. "Urus saja daganganmu, Mak," ucap Nurdin seraya beranjak pergi meninggalkan warung Mak Tin. Mak Tin hanya geleng-geleng kepala. Pemuda berusia 25 tahun itu, sudah kehilangan arahnya.
Sudah hampir dua tahun Nurdin, luntang-lantung hidup sendirian. Uang
hasil kerja pun, habis dipakai hal-hal yang tidak penting. Kerjanya hanya mabuk-
mabukan, bermain kartu, serta menggoda para gadis kampung.
***
"Bu, Nurdin mau kerja ke luar negeri, ya," ucap Nurdin tatkala lulus dari SMA.
"Loh, kok kerja sih, Din. Katamu, ingin kuliah di UGM?" tanya ibunya.
Nurdin tersenyum dan menggelengkan kepala. Ia ingin meringankan beban
orang tuanya dulu. Keinginannya sederhana, ingin memperbaiki rumah yang hampir roboh ini dan menghidupi keluarganya.Tidak apalah dirinya tidak kuliah pun, yang penting bisa membahagiakan keluarga sendiri.
Tiga tahun Nurdin mencari rupiah di Negeri Jiran. Tidak banyak memang uang
yang dihasilkan, tetapi cukup untuk membiayai keluarganya di kampung.
Suatu hari seseorang menelponnya.
"Din, ibu dan bapakmu, Din!"
"Ibu sama bapak kenapa, Mas?" tanya Nurdin. Sungguh, ia merasa tidak
enak hati akhir-akhir ini.
"Pokoknya pulang saja dulu, rumahmu kebakaran!"
Nurdin tercekat, tenggorokannya terasa kering untuk berucap. Segera ia bergegas
kepada majikan, untuk meminta izin kepulangannya ke Indonesia.
Tidak cukup satu hari, Nurdin harus mengurus sana-sini untuk bisa pulang
kampung. Terlebih, tiket pesawat yang cukup mahal. Hati Nurdin gelisah,
bagaimana keadaan keluarganya di sana?
Akhirnya pada suatu saat ia tiba di kampung halaman. Melihat rumah yang
ia perbaiki dulu, dari hasil kerjanya mengais rupiah di negeri orang, telah hangus habis terbakar api. Kakinya lemas, tubuhnya gemetar, ia berteriak memanggil orang tuanya.
"Pak, Bu, Nurdin pulang!"
Orang-orang sekampung sungguh prihatin dengan keadaan Nurdin. Orang tuanya,
sudah tiada tiga hari yang lalu.
Sejak saat itu, Nurdin menjadi seorang yang kehilangan arah, laki-laki tanpa asa
dan harapan. Hidupnya berputar 180 derajat, ia mulai suka mabuk-mabukan, serta bermain gaple bersama para pemuda yang sudah jelas suram hidupnya.
***
SIANG hari, tubuhnya meringkuk gemetaran, seperti seorang pecandu yang sedang sakau.
Di siang hari kerjanya hanya tidur, dan malam hari adalah waktunya untuk
keluyuran mencari tempat tongkrongan. Ya, seperti seekor kelelawar dan burung
hantu saja hidupnya.
Kenapa seseorang bisa kehilangan arahnya seperti Nurdin? Laki-laki yang tidak mempunyai asa untuk saat ini.
Mungkin, keimanan seseorang menjadi tolak ukur untuk itu. Jiwa yang dikuasai nafsu dan setan, adalah pribadi yang imannya lemah.
Seperti jiwa dan tubuh Nurdin. Saat ia dilanda kesedihan yang mendalam, ditinggal oleh orang terkasih Memudahkan setan untuk masuk dalam jiwanya dan menetap di hatinya, berbuat kesesatan, serta keburukan.
"Gocap! Din, duit mana duit!" ujar seseorang yang kegirangan, menang dalam permainan kartunya.
Nurdin kalah lagi. Uang hasil dari kerja serabutan kemarin, habis dipakai untuk
bermain.Sehabis bersenda gurau, mabuk semalaman, Nurdin pulang dengan keadaan yang seperti biasanya. Tubuh sempoyongan, serta mulut yang tidak pernah berhenti meracau tidak jelas.
Kadang-kadang ia tidur di mana saja, di tempat yang ia lewati dalam keadaan
mabuk.
Tubuhnya ambruk, lalu ia beringsut untuk membaringkan diri. Matanya pun terpejam untuk tidur.
"Ash-shalaatu khairum minan-nauum ...."
"Ash-shalaatu khairum minan-nauum ...."
Azan subuh telah berkumandang. Orang-orang mulai memasuki masjid, untuk
menunaikan kewajiban.
Mereka melirik, siapa orang yang tidur di teras masjid? Namun, mereka tidak peduli.
Setelah menunaikan salat Subuh, orang-orang mulai berhamburan ke luar, ada
juga yang masih melakukan wirid dan mengaji.
"Din, Nurdin! Bangun, Nak!" Seseorang menggoyangkan tubuh Nurdin yang
terjepat tidur di lantai masjid. Nurdin masih belum terbangun juga.
Dengan sabar orang itu berusaha membangunkannya
"Sudah salat, Din?" tanya Pak Tejo, ia dulu adalah guru mengaji di kampung Nurdin.
Nurdin terduduk, lalu ia menggelengkan kepalanya. "Buat apa salat, dia juga tidak
bisa menolongku," ucap Nurdin setengah sadar, kepalanya masih pusing dan nyeri.
'Dia' yang dimaksud Nurdin, adalah Tuhannya. Ia menyalahkan apa yang dialami kepada-Nya.
"Jangan kaubicara begitu, Din! Jangan kausalahkan Allah atas semua yang
menimpamu," ucap Pak Tejo seraya mendudukkan diri di samping Nurdin.
Nurdin terdiam.
"Kehilangan orang terkasih bukannya Allah tidak sayang padamu, Din. Ini
ujian, Allah sayang pada orang tuamu."
"Lihat dirimu, setelah kaujauhi Allah, apa kau merasa bahagia, Din?"
Nurdin menolehkan pandangannya pada Pak Tejo. Dalam hati ia membenarkan,
hidupnya jauh dari kata bahagia.
"Ingat, Din. Wallahu a'lam, orang gila pun masih ada yang mengingat Tuhannya. Kenapa kau yang masih waras, justru pergi meninggalkannya?" lanjut Pak Tejo.
Deg!
Hati Nurdin sedikit tersentak dibuatnya. Ia ingin menangis. Sungguh sebodoh bodohnya manusia, ia pikir dirinya yang paling bodoh.
Ia telah lupa akan Allah yang memberinya kehidupan. Ia telah terperangkap dalam
kesesatan dan tipu daya setan.
Dipukulnya kepala beberapa kali. "Saya bodoh, Pak Tejo," isaknya frustasi. Sesekali Pak Tejo menepuk bahunya.
Pak Tejo menyunggingkan senyumnya, ia harap Nurdin bisa berubah dan bertobat.
"Sudahlah, Din. Sekarang kauambil air wudu, salatlah dan meminta ampun
pada Allah!"
Nurdin pun menyucikan dirinya dengan berwudu, dipakainya sarung yang ada di
masjid.
Dalam waktu subuh yang akan segera berakhir, Nurdin menunaikan salat Subuh
untuk pertama kali, setelah sekian lama meninggalkannya. Dalam sujud, ia menangis, meneteskan air mata penyesalan.
Laki-laki tanpa asa itu memanjatkan doa pada Allah, dan memohon ampun pada-Nya.
Allahumma inni as'alukal 'afwa wal 'afiyah fid dini wad dunya wal akhirah. Walhamdulillahi rabbil 'alamiin.
"Ya Allah, sungguh, aku memohon kepada-Mu maaf dan kekuatan pada agama, dunia, dan akhirat. Segala puji bagi Allah, Tuhan sekalian alam."
-Rika Fitrilianti-
Komentar
Posting Komentar