Kacamata Hati


Hati juga perlu kacamata, terkadang ia salah menilai. Remang-remang melihat kebaikan tetapi sangat jelas ketika keburukan yang dilihatnya.

* * *
                            
"Dasar sok alim!” cibirku ketika melihat postingan Lubna, teman sekelasku yang 
jilbabnya persis seperti perempuan-perempuan padang pasir. 

Berjilbab itu bukan ketika sudah baik, tapi ketika sudah baligh. 

Begitulah postingan yang kini terpampang jelas di layar ponselku. Apa dia sedang 
menyindirku? Aku memang belum sanggup untuk berjilbab, karena menurutku jika seseorang sudah berjilbab maka harus disertai dengan akhlak yang baik tanpa cela. Sedangkan aku? 
Akhlakku masih jauh dari kata baik, lebih baik hati dulu saja yang memakai jilbab, kalau kepala itu perkara mudah untuk dipakaikan jilbab, kira-kira seperti itulah yang ada dipikiranku saat ini. 

Angkutan umum yang kutumpangi berhenti tepat di seberang sekolahku, kendaraan inilah yang biasa mengantarku kemana pun. Aku baru saja hendak menyeberangi jalan, namun suara klakson mobil sudah mendahului langkahku, rupanya mobil itu hendak menuju sekolah. 

Aku menggerutu pelan, kesal sekali dengan si pengemudi mobil. Apa hanya karena mengendarai mobil membuatnya seperti itu? Huh! Baru saja mengendarai mobil sombongnya sudah tak tertolong apalagi kalau mengendarai helikopter! 

Aku melintas tepat ketika si penumpang mobil turun dari mobilnya. Pantas saja yang ada di dalam mobil itu Lubna, si gadis padang pasir. 

"Heh kalau bawa kendaraan itu yang bener dong, main serempet aja! Sombong banget lo baru bawa mobil juga," labrakku cepat dan menendang bagian belakang mobilnya, seketika kakiku terasa berdenyut sakit namun aku tahan agar tidak terlihat sakit. 

"Astaghfirullah Jihan, Demi Allah aku tidak bermaksud sombong, aku hanya takut 
terlambat jadi aku meminta yang mengendarai mobil supaya lebih cepat," ujarnya dengan nada super lembut khasnya.

Aku melirik jam yang ada di pergelangan tanganku. Waktu masih sepuluh menit lagi untuk masuk, dan dia mengatakan takut terlambat? Alay sekali! 

"Aku mau minta maaf sama kamu, apakah kamu ada yang terluka?" balas Lubna
khawatir sambil menghampiriku. 

"Gak usah sok perhatian deh lo sama gue, bilangin aja sama pacar lo yang 
mengemudikan mobil si*lan itu supaya lebih hati-hati lagi," tunjukku pada pria yang tengah menatap perdebatan kami berdua yang baru aku sadari ternyata bukan hanya dia yang tengah menatap kami namun juga orang-orang yang tengah berlalu lalang. 

Dia beristighfar sebelum akhirnya menghampiriku dan hendak menyentuh tanganku, namun sebelum itu terjadi aku langsung menepisnya secara kasar dan tidak sengaja membuatnya 
tersungkur sehingga melukai telapak tangannya yang dia jadikan sebagai tumpuan. 

Aku meninggalkan dia yang kini tengah beristighfar, mungkin karena mendengar aku mengumpat atau terkejut karena kedoknya terbuka? Berpacaran! 

Aku masih menatap Lubna dari kejauhan yang kini tengah dibantu oleh pria yang tadi kutunjuk sebagai pacarnya, pria itu terlihat khawatir sekali sebelum akhirnya mengeluarkan sesuatu dari mobilnya yang aku yakini adalah kotak P3K, mungkin akan mengobati luka Lubna, aku tidak peduli. Sudah ketahuan berpacaran dan sekarang akan melakukan adegan sok romantis di tempat parkir? Sungguh tak tahu malu si Lubna itu, apalagi dengan jilbab padang pasir yang 
dia pakai? Sungguh sangat tidak mencerminkan pribadi perempuan muslimah. 

Kemana imbangnya antara akhlak dan jilbab yang dia pakai? nah makanya aku tidak mau seperti dia yang mendahulukan kepalanya untuk dijilbab tapi hati tidak dijilbab. 

Aku memasuki kelas dengah wajah kesal. 

"Kenapa lagi kamu? Ngapain tadi di parkiran?" itu suara Hilya, teman sebangku aku yang bertitel si kutu buku dengan kacamata yang bertengger di hidungnya. 
"Biasa si Lubna bikin ulah lagi," ujarku malas.

Hilya terlihat mengernyitkan dahinya, mungkin dia heran dan tak percaya jika Lubna membuat ulah, lagi pula siapa yang akan percaya seorang Lubna membuat ulah? Dengan penampilan dan akhlak yang terlihat sangat baik juga segudang prestasi yang dia miliki, tidak 
akan ada yang percaya walaupun itu seantero sekolah. 
"Kenapa lo? Bingung? Kaget?"
"Heran, gak mungkin ah dia bikin ulah," jawabnya.
Nah, apa aku bilang, dia tidak akan percaya. 
"Dia pacaran," bisikku ditelinganya. 

Hilya menutup buku yang sedang dibacanya dan segera melepas kacamatanya, sebegitu terkejutnya Hilya mendengar kabar ini? Bahkan rela menutup bukunya tanpa memberi tanda 
sampai di mana dia berhenti membaca. 
"Gak mungkin," desisnya nyaris tak terdengar. 
"Kenapa lo bisa bilang gak mungkin? Lo jangan tertipu sama penampilannya Hil, zaman sekarang banyak banget perempuan yang pakai jilbab tapi akhlaknya...," aku melanjutkan perkataan dengan menjungkirkan jari jempol. 
"Kamu jangan membandingkan akhlak dengan jilbab Jihan, akhlak dan jilbab itu berbeda, kalau memakai jilbab itu memang kewajiban bagi perempuan yang mengaku dirinya sebagai muslimah, dan akhlak baik memang harus mengiringinya. Tapi disaat akhlak seseorang dirasa 
sudah melanggar, kita jangan salahkan jilbabnya tapi salahkan orangnya. Dan untuk meluruskan hal ini kita jangan membicarakan orang itu di belakangnya tapi langsung bicara sama orangnya, 
karena yang bisa merubah akhlaknya adalah dia bukan orang lain," Hilya mencoba memperingatkanku panjang lebar. 

Aku mengangguk saja agar urusan cepat selesai, meski aku harus mengakui bahwa hatiku sedikit tersentuh ketika mendengar perkataan Hilya. 

Aku mengeluarkan ponsel yang berada di saku baju, lalu memperlihatkan foto Lubna
yang sempat aku potret tadi ketika dia sedang diobati oleh pacarnya itu

Hilya tersenyum melihat apa yang terpampang di layar ponselku, aku melihatnya barangkali saja aku salah memperlihatkan, tapi benar aku memperlihatkan foto Lubna yang tadi 
aku potret, namun kenapa reaksi Hilya jauh di luar prediksiku? 

"Ini kakaknya,” ujarnya sambil menepuk bahuku pelan. 
"Kok lo tahu dan yakin bahwa itu kakaknya? Gue sering lihat dia dan cowok itu kok, mereka sering jalan berdua gak hanya diantar sekolah, malah gue pernah memergoki mereka tengah belanja berdua," ucapku sambil menekankan kata berdua. 
"Aku pernah ke rumahnya, aku satu ekskul sama dia kalo kamu lupa, kebetulan waktu itu ada tugas ekskul juga. Masalah kamu pernah memergoki mereka belanja, itu mungkin perintah dari ibunya, wajar saja, mereka adik kakak," ujarnya yang mampu membuatku melongo. Jadi selama ini pikiranku salah? Pikiran yang mengira bahwa dia berpacaran. 
"Maka dari itu jika menilai seseorang bukan hanya dari mata tapi juga dari telinga, bisa saja karena kamu hanya menggunakan mata, kamu salah paham karena tidak mendengar apa yang sebenarnya, begitupun sebaliknya," Hilya terus berbicara seolah sedang memberi wejangan. 
"Pasti kamu kesal juga karena inikan?" sambungnya sambil memperlihatkan ponsel dirinya yang memperlihatkan postingan Lubna yang aku cibir beberapa jam yang lalu. 

Aku mengangguk membenarkan. 
"Jihan, Lubna memposting ini bukan untuk menyindirmu," ucapnya seolah tahu apa yang ada dalam pikiranku. 
"Dia ingin mengajak kita untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi, dia ingin kita sama-sama belajar. Kamu tahu? Sehelai saja rambut perempuan terlihat oleh laki-laki yang bukan muhrim, maka satu langkah ayahnya ke neraka. Kamu mau ayah kamu ke neraka?" aku refleks 
menggeleng mendengar pertanyaannya. 
"Nggak-kan? Maka dari itu kita harus sesegera mungkin untuk menutup aurat kita. Perbedaan perempuan yang memakai jilbab dan tidak itu bisa diibaratkan permen yang masih dibungkus dan yang tidak dibungkus, kamu pilih yang mana?" tanyanya.

"Ya tentu yang masih dibungkus, kalau sudah tidak dibungkus pasti sudah dikerumunin semut," jawabku mantap. 
"Nah begitu juga dengan laki-laki yang baik, mereka pasti memilih perempuan yang berjilbab untuk menjadi pendampingnya, mereka pasti tidak mau aurat istri mereka sudah kelihatan sama laki-laki lain," ucapnya yang membuat hatiku tersentil.

Aku terdiam setelah mendengar semua penjelasan Hilya. Entah sejak kapan bulir bening ini mulai mengalir di pipiku. 

"Ji, Jihan, kamu kenapa menangis? Ucapan aku ada yang salah ya? Ucapan aku membuat hatimu sakit?" Hilya mengguncangkan bahuku dan bertanya dengan nada khawatir. Aku menggeleng, tak terasa tangisanku malah menjadi-jadi. 
"Aku menyesal," ucapku sambil terisak.
"Aku selalu berprasangka buruk pada Lubna, selain itu aku juga sudah melukai telapak tangannya," isakanku makin kencang, kini Hilya memelukku dari samping sambil mengelus pelan punggungku. 
"Hust sudah jangan menangis lagi," ucapnya berusaha menenangkanku. 
"Mulai dari sekarang jika menilai seseorang jangan hanya dari satu sudut pandang saja,tapi gunakan juga sudut pandang yang lain, coba tengok hatimu, apakah ia memang benci atau iri?"
Ya, Hilya benar, aku ini benci atau iri karena Lubna terlihat lebih sempurna dibandingku? 
"Menurutmu kenapa aku memakai kacamata?" tanyanya tiba-tiba. 
"Ya tentu saja karena matamu minus dan memerlukan kacamata untuk membantu 
penglihatanmu agar jelas," ujarku mantap. 
"Nah," ucapnya sembari menjentikan jari tengah dan jari jempolnya. 
"Hati juga perlu kacamata, terkadang ia salah menilai. Remang-remang melihat kebaikan tapi sangat jelas ketika keburukan yang dilihatnya."
Hilya mengurai pelukan, aku menatapnya dengan mata sembab.

"Aku harus minta maaf," ujarku yakin dan mendapat senyuman dari Hilya.

Aku menengok ke arah pintu ketika seseorang mengetuknya dan Lubna muncul sembari mengucap salam tak lupa dengan senyuman manis yang selalu dia terbitkan setiap harinya 

Aku mendekatinya Lubna menatapku penuh kasih disertai dengan senyuman tulus. Sebaik itukah dia? Masih bisa tersenyum kepadaku yang jelas-jelas sudah menyakitinya. 
"Maafkan aku Lubna," ucapku nyaris tak terdengar. 
Lubna memegang kedua bahuku. 
"Tidak apa-apa Jihan," ucapnya dengan nada lembut. 
"Kamu memaafkanku?" tanyaku terkejut, semudah itukah? 
"Tentu saja, kita harus saling memaafkan, Rasulullah menjelaskan bahwa balasan bagiorang yang memaafkan kesalahan orang lain adalah surga."
" Kenapa kamu baik sekali Lubna? Aku selalu berprasangka buruk kepadamu, aku juga sudah menyakitimu," ucapku jujur. 
"Tidak masalah Jihan, mulai sekarang mari kita berteman dengan baik," ajaknya lagi-lagi disertai senyuman tulus.

Aku menghamburkan tubuhku ke pelukannya dan dibalas baik oleh Lubna. 

"Terima kasih Lubna," ujarku masih terisak dalam pelukannya. 

Keesokan harinya aku kembali ke sekolah dengan suasana hati yang lebih baik, tentu saja. Tak hanya itu penampilanku juga sudah berubah, memakai jilbab yang pagi kemarin masih aku sebut dengan jilbab padang pasir. Aku tersenyum menatap kedua sahabatku yang sudah menungguku di gerbang sekolah. Huh, kenapa tidak dari dulu aku memakai jilbab seperti ini? Ini 
sangat nyaman sekali. Tidak hanya membuat nyaman di dunia namun juga mampu membuat nyaman di akhirat. 



-Siti Zahra

Komentar