Diphylleia Grayi
“Don’t stay in a haram relationship with the intention of making it halal someday. Who
promised you tomorrow?”
—Dr. Bilal Philips
----o0o----
Di waktu istirahat dengan cuaca yang amat panas ini, aku dibuat jengah dengan pasangan yang berada tidak jauh dari kursi yang kududuki. Pulpen yang berada dalam genggaman tanganku, kugerakkan di atas sebuah kertas putih kosong dan melampiaskan semua kejengahanku disana. Sehingga tampak sebuah coretan yang sangat abstrak tak beraturan. Alisku
menukik tak suka pada mereka berdua.
Terlihat keduanya saling tertawa dan bercanda dengan suara yang cukup keras. Dari ujung mataku, kulihat perempuan yang duduk menyender pada tembok sesekali tertawa dengan suara cemprengnya ketika lawan jenisnya mencubit dan menarik hidungnya. Lagi-lagi aku mendengus pelan saat— tak sengaja— kembali memperhatikan keduanya.
Bukan, bukan karena aku merasa iri melihat kemesraan keduanya. Bahkan aku merasa pasangan baru itu alay menurutku. Sebenarnya, yang membuatku merasa terganggu adalah … karena mereka selalu tertawa terbahak-bahak dengan suara yang teramat keras.
Kulihat teman-teman sekelasku baik laki-laki maupun perempuan, sebenarnya cukup terganggu dengan keberadaan mereka, tapi tak ada satu pun yang angkat suara dan berani mengusir seorang laki-laki milik dari salah satu siswi di kelasnya— alias pacarnya— karena Felix
tidak sekelas dengan kami. Mengingat bahwa laki-laki tersebut dikenal dengan wataknya yang keras, pembangkang, dan akan melawan siapapun yang berani menentang perilakunya tanpa memandang bulu. Bisa dikatakan dia salah satu preman sekolah ini. Dan aku yakin jika kamu melawannya, dia akan langsung menghajarmu tanpa ampun dan bisa berakhir di rumah sakit.
Aku pun sama dengan mereka semua, tak berani mengusirnya. Mungkin dalam cerita fiksi remaja, sosok seperti itu adalah yang diidamkan oleh semua perempuan karena dianggap keren, tentu saja kecualikan aku. Karena pada nyatanya, karakter laki-laki yang seperti itu malah ditakuti dan dibenci oleh semua orang.
Ah iya, aku lupa memberitahu kalian. Nama laki-laki itu adalah Felix dan perempuannya adalah Thalia.
Tak usah menanyakan nama lengkapnya karena aku tidak mengetahuinya dan aku tidak peduli. Lagipula, walaupun aku menghapal namanya itu, namanya tidak akan muncul di dalam ulangan sekolah. Juga jangan tanyakan padaku mengapa mereka bisa berpacaran.
Aku sedang menunggu teman sebangkuku yang belum juga kembali dari kantin. Tadi aku menitipkan padanya untuk membelikan batagor ikan pedas dan sebotol air mineral dingin. Karena lama menunggu, kulipat kedua tanganku di atas meja dan menenggelamkan wajahku di
sana.
Tak berapa lama aku memejamkan mata, ada sensasi dingin menyentuh puncak kepalaku yang terbalut kerudung putih. Sontak aku terbangun dengan mata menyipit pada seseorang yang
sudah duduk di kursi kosong di sampingku.
Tampak dia tersenyum lebar, lalu menyerahkan sebotol air mineral dan batagorku. “Nih, Luna, makanannya! Maap ya kelamaan! Tadi tukang batagornya penuh!” jelas Erika, sahabatku. Dia menggigit siomay-nya dengan rakus.
Aku mengangguk pelan, “Makanya kalau pengen jajan pikirin dulu jajanan apa yang mau dibeli, bukan pas di kantin malah baru mikir pengen jajan apa!” ujarku, sambil mengunyah batagor. Pikiranku sedikit teralihkan dari kedua makhluk yang berada di pojokan kelas, masih dengan tawanya. Lalu tak ada suara di antara kami berdua, sedang sibuk memakan jajanannya
masing-masing.
BRAAKKK!!!
Ketika aku akan menelan makananku, tiba-tiba Felix menggebrak meja dengan sangat keras. Membuatku terlonjak dari bangkuku sendiri dan tersedak, lalu buru-buru meminum air mineral milikku dengan terburu-buru. Jantungku seolah meloncat keluar dari tempatnya.
Gebrakannya itu berhasil membuat seisi kelas langsung mengalihkan atensinya pada mereka berdua. Tatapan kami semua mengisyaratkan bahwa sekarang kami benar-benar merasa
terganggu. Yang menjadi perhatian sama sekali tak merasakan bahwa arah mata kami justru ditujukan untuk mereka.
Itu orang napasi ya Allah?! Bikin orang jantungan aja!, batinku kesal.
“Aku ke kelas dulu.” ucap Felix pada Thalia, sambil menepuk puncak kepalanya. Hah?
‘Aku’?! Bukan ‘gue’?!
Thalia hanya tersenyum dengan lebar, menunjukkan deretan giginya. Lalu kemudian, Felix bangkit dari kursinya, menatap tajam pada kami semua satu persatu. Otomatis semuanya menundukkan pandangannya, berusaha menghindari tatapan mengintimidasinya dengan seolah-olah menyibukkan diri.
Aku dan Erika pun demikian. Dalam sekejap, suasana kelas hening mengalahkan suara keras orang-orang dari arah lapangan. Yang terdengar dalam gendang telingaku hanyalah suara
langkah sepatu milik Felix yang sedikit bergema. Ketika dia berjalan melewati mejaku, Felix menyambar botol mineralku yang belum tertutup dan menyemburkannya pada wajahku.
Yang berada di dalam kelas hanya bisa menahan napasnya ketika aku diperlakukan seperti itu. Thalia pun sepertinya sama. Aku yang sangat terkejut mengangakan mulut, masih berusaha
mencerna semuanya dan mengusap kasar wajahku untuk menyingkirkan air yang masih menempel di sekitarannya. Kupandangi kerudung dan seragamku yang basah, merasa tak percaya.
Sebenarnya punya dosa apa aku pada sesosok makhluk yang berada di sampingku sih?! Bahkan aku tak bernapas di hadapannya!
Ketika aku mendongak pada Felix, terlihat seukir senyuman menghina di bibirnya
dilontarkan padaku. Aku semakin memelototkan mata, “KENAPA SIH?! PUNYA MASALAH?!” teriakku tak sengaja. Setelah sadar dengan apa yang kukatakan, buru-buru kukatupkan kembali bibirku dan merutuki dalam hati. Itu benar-benar refleks.
Dia semakin menaikkan salah satu sudut bibirnya, lalu pergi begitu saja. Melangkahkan kakinya sok berkuasa keluar kelas.
Astaghfirullah astaghfirullah… gak boleh ngehujat! Orang sabar uangnya banyak!, Aku berusaha menetralkan kepalaku yang sudah panas. Dengan cepat, kutolehkan kepala ke arah Thalia yang kini sedang memandangiku.
“Heh, Thal! Bisa liat gak apa yang dilaku-in sama si Felix ke seragam aku?! Kamu gak
berhenti-in dia?! Kamu itu pacarnya loh! Bisa gak bawa dia ke jalan yang BENER?! Nah, sekarang liat! Seragam aku basah! Mana sekarang gak ada pelajaran olahraga lagi!” aku mengeluarkan semua kekesalanku sambil menunjukkan bahwa seragam putih-abu yang kupakai
sudah setengahnya basah.
Seluruh mata ikut memandanginya, dan Thalia balas menatap mereka dengan tatapannya yang datar. Lalu kemudian, “Maaf.” Hanya satu kata yang dilontarkan dari bibirnya tanpa rasa bersalah dan terkesan datar.
Aku yang mendengarnya membulatkan mata. Semudah itukah dirinya mengucapkan kata ‘maaf’ tanpa rasa bersalah sedikitpun?!
Tanganku terkepal erat dan gigiku bergemerutuk menahan rasa emosi yang hampir membludak. Aku berusaha mati-matian untuk tidak menyumpah serapahinya, setelah sebuah usapan lembut di punggungku menenangkanku.
Aku menoleh pada Erika, senyuman meneduhkannya benar-benar membuatku tenang.
Bahuku yang semula tegang kemudian beringsut turun. Seolah ada uap panas di punggung, bahu, dan kepalaku, lalu menguap begitu saja tergantikan menjadi sensasi dingin.
“Makasih, Rik.”
Erika mengangguk, “Iya gapapa. Abisin tuh batagornya.”
----o0o----
Beberapa hari kemudian, saat pembagian hasil ulangan harian Bahasa Indonesia tentangnama latin tumbuh-tumbuhan, aku tak bisa menahan kegugupanku untuk melihat hasilnya. Aku harap nilai ulangan harian ini nilainya cukup memuaskan, karena saat malamnya aku belajar
sampai bergadang. Jantungku sudah berdetak tidak karuan saat ini.
Mulutku terus saja merapalkan do’a agar nilainya tidak terlalu buruk seperti mata pelajaran yang lainnya. Erika yang melihatku hanya menggeleng-gelengkan kepala.
Tepat ketika aku membuka mata, Bu Nessa guru pelajaran Bahasa Indonesia sekaligus wali kelasku, meletakkan kertas ulanganku dalam posisi terbalik. Langsung saja kubalikkan kertas tersebut pelan-pelan dan… seperti ada bom yang meledak di dalam badanku, aku menjerit tertahan di ujung tenggorokan.
Hasilnya 95! Aku sangat-sangat bersyukur dan ini sudah menjadi nilai yang sangat
memuaskan! Akhirnya tidak sia-sia aku belajar sampai mataku berkantung hitam.
“Widih, gede nilainya! Kok bisa? Nyontek ya?” canda Erika, dia membandingkan nilaiku dengan nilai miliknya. Aku yang mendengarnya memasang cengiran kuda.
“Nilai kamu berapa, Rik?” kucondongkan badanku untuk melihat hasil ulangannya. Erika menunjukkannya padaku, “Hehe, cuma 80… Tau kok, kecil.” ucapnya nyengir.
“Nilai segitu udah gede kok. Aku cuma kebetulan aja dapet nilai gede gini.” elakku sembari mengibaskan tangan di depan wajah. Definisi merendah untuk meroket.
“Thalia, kok akhir-akhir ini nilai kamu jelek banget ya?” terdengar suara Bu Nessa ketika memberikan hasil ulangannya ke meja Thalia. Seketika semua pasang mata tertuju padanya, termasuk aku.
Terlihat Thalia menunduk dan menarik kertasnya itu, lalu dilihatnya hasil ulangan
miliknya. Aku yang melihat pemandangan itu menjadi ingin tahu berapa nilai ulangannya.
Terlintas di otakku bahwa penyebab nilai ulangan Thalia turun drastis akhir-akhir ini
karena Felix. Sudah berapa kali Felix dipanggil oleh guru BK dan kepala sekolah karena keributan yang dilakukannya. Bahkan aku pernah mendengar jika Felix ikut tawuran antar sekolah. Yang membuatku bingung, mengapa Felix tidak dikeluarkan langsung oleh pihak sekolah?
Oh, tentu saja. Uang berada di atas segala-galanya, karena Felix berada di keluarga yang berada. Mungkin kamu paham maksudku.
“Ck, kamu ini! Jangan pacaran mulu lah sama si Felix itu! Kamu bukannya bawa dia ke jalan yang bener, malah kamu yang ikutan gak bener! Jangan sampai nilai kamu jelek semua di mata pelajaran yang lain!” seru Bu Nessa ketika melangkah menuju mejanya.
Tatapanku sama sekali tak teralihkan dari Thalia. Memang benar, Thalia menjadi ikut
seperti Felix yang suka malas-malasan. Akhir-akhir ini aku sering melihat jika Thalia selalu keluar rumah tanpa menutupi auratnya bersama dengan Felix.
Sejujurnya saja, aku sangat menghindari dari yang namanya pacaran. Mungkin bagimu pacaran itu adalah satu hal yang terindah di dalam hidup dan sedang dalam proses kedewasaan untuk mengatur berbagai emosi.
Tapi asal kamu tahu saja, pacaran itu membuatmu dosa dan dapat menjerumuskan kedua orangtuamu ke dalam neraka, terlebih lagi kepada perempuan. Sejujurnya saja aku sebenarnya tidak percaya mengenai fakta ini. Tapi setelah aku mendengarnya dari para pemuka agama Islam, mungkin aku harus menyetujui semua perkataannya.
Mungkin dalam mengikuti hawa nafsu, aku sangat ingin mencobanya sekali saja. Ingin merasakan yang namanya dimiliki oleh seorang lelaki, berjalan bersama, dan berbagai hal lain yang dilakukan oleh orang berpacaran. Tapi mengingat diriku ini sangat… ah, sudahlah.
Selain karena dosa, pacaran menurutku sangat ribet. Bayangkan saja, kamu harus
menghubungi pacarmu dan menanyakan kabar darinya selama waktu yang ditentukan oleh si perempuan. Apalagi jika pacarmu itu sedang bermain sebuah game online, lalu tiba-tiba kamu menelponnya. Tentu saja itu akan membuat dia marah karena kamu telah mengganggunya.
Apalagi jika kamu sudah mengatur-ngaturnya yang mungkin diluar batas. Lalu terucaplah kata ‘putus’ dari lidah yang digerakkan tanpa sengaja.
Aku tahu, pasti tidak semuanya seperti itu, aku tahu itu. Tapi itulah yang aku lihat dengan mata kepalaku sendiri.
Ah, aku tidak tahu menahu tentang hal semacam ini. Aku hanya mendengar dan
melihatnya dari orang lain saja. Aku tak peduli jika pacaran memiliki sisi positif atau negatifnya. Karena ujung-ujungnya sama saja akan menjadi ‘mantan’.
Maaf, tapi… hei, ini pendapatku. Jika kamu mempunyai pendapat yang lain, silakan saja, itu bukan urusanku sama sekali. Tolong jangan hujat aku, yang menganggapku sebagai orang sok suci. Karena aku pun mempunyai banyak dosa dengan jalanku sendiri. Aku disini hanya
sekadar mengingatkan saja.
Mungkin yang namanya ‘cinta dalam diam’ dan mendo’akan di sepertiga malam memang jalan yang terbaik. “Dekati dulu penciptanya, baru yang diciptakannya.”, itulah kata-kata yang sering terngiang-ngiang di kepalaku ketika menyukai seseorang.
Apa kamu dapat memahami apa maksudku? Aku harap kamu dapat memahaminya.
Kulihat Thalia menghela napas panjang dan memasukkan kertas ulangannya ke dalam tasnya. Kemudian dia mendelikku sebentar sebelum menyenderkan punggungnya ke punggung kursi.
Aku menatapnya sewot dan mendengus sebal. Apa-apaan dia?! Mungkin setelah ini Thalia akan mengadukannya pada pacarnya si Felix.
Aku kembali memandangi kertas ulanganku. Herbras, Diphylleia Grayi, Paeonia, Chrysanthemum indicum, Dianthus caryophyllus, Lagerstroemia indica… Ah, nama-nama latin yang cantik.
----o0o----
“Thal, emang kenapa kamu pengen pacaran sama Felix?”
Samar-samar aku mendengar ada yang ingin mengkorek informasi seseorang dari bangku yang kududuki. Kutolehkan kepala sedikit ke arah meja Thalia. Pantas saja, yang tadi bertanya itu Luna. Dia memang sangat ingin tahu dengan urusan sekitarnya, bahkan menyangkut hal
pribadi dan privasi. Sepertinya dia akan mulai proses sesi bertanya dan menggibah.
Eh, astaghfirullah, gak boleh gitu!
“Emang kenapa?” —Thalia.
“Gapapa sih, cuman pengen tahu.” —Lun
Kudengar Thalia menghela pendek. Entah kenapa, aku ingin ikut mendengarkan. Karena aku pun penasaran dengan alasan Thalia berpacaran dengan sosok preman sekolah itu.
“Gapapa, aku cuman pengen ngerasain doang yang namanya… punya saudara laki-laki,”
Thalia bersuara rendah, namun dapat dengan jelas tertangkap oleh daun telingaku. Jadi, dia gak
punya saudara laki-laki?
“Ohh… terus terus?” Luna mencondongkan badannya. Thalia terdiam sebentar dan
memandang sekeliling. “Aku pengen ngerasain yang namanya kasih sayang dari laki-laki.” Lanjutnya lebih pelan. Aku semakin menajamkan pendengaran. Maafkan aku.
“Emang kenapa?” Luna semakin memancing Thalia dengan penuh harap dapat memberitahu informasinya.
“Aku udah yatim dari lahir dan aku anak tunggal.”
Aku yang mendengarnya tentu saja terkejut. Aku baru mengetahuinya, karena selama ini Thalia sangatlah tertutup jika menyangkut keluarganya. Tapi… kok bisa dia begitu terbuka pada Luna?
Luna ber-oh panjang dan kembali bertanya-tanya. Aku yang sudah menyadari perbuatanku langsung mengelus-elus tanganku di dada.
Memangnya jika ingin merasakan kasih sayang harus berpacaran, ya? Aku semakin tak mengerti dengan jalur pikiran mereka tentang pacaran. Sekeras apapun aku berusaha memahaminya, tetap saja tidak akan masuk ke otak.
Sekarang aku bersyukur karena masih memiliki kedua orangtua yang lengkap dan memiliki seorang kakak laki-laki yang begitu baik padaku, walaupun sedikit menyebalkan.
----o0o----
Beberapa hari kemudian, aku mendengar kabar bahwa Thalia sudah meninggal. Tentu saja seisi kelas langsung mengucapkan “Innalillahi wa innailaihi roji’un”. Seingatku saat kemarin dia
baik-baik saja. Bahkan dia masih bercanda ria bersama pacarnya.
“Kemarin masih sehat wal’afiat, Bu?” —KM.
“Urusan kematian kan Allah yang ngatur.” —Bu Nessa.
“Kok bisa meninggal, Bu?” —Fredy.
“Ya kalau udah takdir mana bisa dilawan Fred!” —Agung.
Aku jadi ingat saat kemarin ada tawuran antar sekolah lagi di dekat gudang pabrik. Banyak yang bilang jika sekolah ini pun ikut juga dalam tawuran. Yang terlintas dibenakku adalah Felix. Kemarin juga bukankah Thalia pulang dengannya?
Aku juga tak melihat keberadaan Felix dimanapun…
Aku yang masih berkutat dengan pikiranku sendiri, tak menyadari bahwa KM sudah
menyodorkan topinya ke arahku. Aku yang memeandang topi dan KM bergantian, dengan alis mengernyit.
“Paan dah?”
“Partisipasinya dodol!!” ngegas dia.
Ketika mendengarnya aku hanya nyengir kuda dan memberikan pecahan uang seribu ke dalam topinya. Dia mencebikkan bibirnya, kemudian melengang pergi menuju bangku di belakangku.
Gak mungkin kan Thalia… EH! GAK BOLEH SUUDZON!!
----o0o----
Tak berapa lama, ada satu informasi mengejutkan dari salah satu OSIS. Ada yang mengatakan bahwa Felix lah yang telah… membunuh Thalia. Apa aku terlalu kasarmengatakannya?
Sontak satu sekolah langsung heboh. Karena dia mengatakannya, maka dia jugalah yang memberikan sebuah bukti yang cukup membuat kami semua tak percaya. Kepala sekolah yang
mendengarnya langsung turun tangan. Di video buktinya itu terlihat Felix menikam Thalia. Ah, aku tak mau menjelaskannya. Karena sungguh, aku pun merasa takut ketika melihatnya.
Sepulang sekolah, kami yang sekelas dengannya akan langsung melayat ke rumah Thalia.
Felix? Entahlah, aku tidak peduli.
----o0o----
Pada hari itu juga, Thalia langsung disemayamkan ke peristirahatan terakhirnya. Ibu Thalia sedari tadi tidak berhenti menangis, bahkan beberapa kali pingsan karena tak mempercayai
anaknya sudah pergi terlebih dahulu menyusul Ayahnya.
Kami juga mendapat kabar lagi, bahwa Felix berhasil ditangkap dan mengatakan karena dia kesal pada Thalia karena sering melarangnya dalam berbagai hal. Menurutnya itu sangat menjengkelkan, seolah terkekang dalam rantaian besi. Maka Felix pun tak segan-segan menikamnya.
Aku benar-benar tak mengerti pada Felix. Aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Dan untuk Thalia, aku minta maaf sebesar-besarnya jika aku mempunyai banyak salah padanya. Aku meremat rangkaian bunga lily putih ketika kuburan Thalia sudah sepenuhnya tertutup oleh tanah
yang masih basah.
Setelah itu kami dan seluruh warga yang melayat mendo’akan agar Thalia tenang di alam sana.
Sebelum aku beranjak pergi untuk menyusul yang lain yang sudah terlebih dahulu meninggalkan pemakaman, aku berjongkok di samping kuburan yang masih baru tersebut. Kuletakkan rangkaian lily putih yang tadi kubeli di atas makamnya. Sebenarnya daripada bunga
lily putih, aku ingin memberikan bunga kerangka. Karena menurutku bunga itu persis seperti Thalia, untuk sekarang ini.
“Maaf ya Thal, kalau aku punya banyak salah ke kamu,” aku menarik napas sebentar kemudian mengeluarkannya pelan-pelan.
“Pada akhirnya pun… kamu seperti bunga Diphylleia grayi, yang terkena air hujan akan menjadi sebuah kerangka putih. Namun yang membedakannya… kamu selamanya akan seperti itu.” Monologku.
Aku berdiri, mengibas-ngibaskan rokku yang sedikit terkena tanah pemakaman. Kutautkan jari-jemariku dan tersenyum tipis atas kepergiannya. “Maaf ya Thal, aku cuma kasih kamu bunga lily doang. Yang tenang ya disana, semoga kamu ketemu ayah kamu. Aku pergi dulu.
"Assalamu’alaikum.” Suaraku memelan di salam terakhir, sedikit berbungkuk dan memutar tubuh untuk pergi mengejar yang sudah jauh meninggalkanku.
.
.
.
fin
*Bunga kerangka (Diphylleia grayi) – Skeleton Flower atau Bunga Kerangka (tulang). Walau namanya seram, bunga ini sangat cantik. Kelopaknya berwarna putih mutiara. Yang membuat bunga ini dinamakan Skeleton Flower adalah perubahan warnanya saat kena air, kelopaknya jadi transparan dan hanya memperlihatkan garis urat kelopak
seperti tengkorak.
“Jikalau kamu merasa tersindir karena cerita saya, berarti Allah tengah mengetukkan hatimu. Maka bersyukurlah kamu, karena kamu masih diberi kesempatan untuk menjadi yang lebih
baik”
“Daripada pacaran terus jadi mantan, mending temenan sampai ke pelaminan”
—A.S.
Komentar
Posting Komentar